Short Course Ekonomi Syari'ah bagi Hakim Agama
Kerjasama yang ditandatangani antara Rektor dengan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia 4 Juli 2006 di Yogyakarta, ditindaklanjuti dengan short course bagi Hakim Agama se-Jawa Tengah. Kegiatan yang diselenggarakan 17-19 Juli di Hotel Puri Garden ini bertujuan memberi pengetahuan tentang: prinsip-prinsip dasar, produk-produk layanan, sistem operasional, aspek legalitas, masalah-masalah sengketa, ketrampilan dalam menyelesaikan masalah sengketa dalam kegiatan ekonomi syari'ah. Kegiatan ini diikuti oleh 70 orang hakim dari PA di Jawa Tengah.
Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag. Dekan Fakultas Syari'ah dalam sambutan pembukaannya mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara IAIN Walisongo Semarang dengan MA. Atas dasar MoU yang telah ditandatangani oleh Rektor dan Ketua MA. Setelah adanya amandemen terhadap UUPA maka disiplin tentang ekonomi Syari'ah, perlu disosialisasiakan, salah satunya adalah diklat bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama. Terlebih lagi bahwa dulu hakim ini hanya menangani masalah perkawinan saja. Oleh karena itu Fakultas Syari'ah sebagai akademisi merasa perlu untuk mengadakan sosialisasi dan diklat bagi mereka. Semoga diklat ini akan mendapakan hasil yang terbaik.
Sementara Ketua PTA Jateng Drs. H. Kholilur Rahman, SH, MH, menyampaikan bahwa bagi hakim di lingkungan PA perlu pembekalan secara teoritis mengenai ekonomi syari'ah. Dan lebih dari itu perlu juga diberi pengalaman praktis. Bahkan kalau perlu diadakan studi banding di lembaga-lembaga Keuangan Syari'ah. Kalimat ini disampaikan dengan secara serius oleh Ketua PTA karena kegiatan ini juga bernuansa pembinaan aparatur negara.
Sementara Ketua PTA Jateng Drs. H. Kholilur Rahman, SH, MH, menyampaikan bahwa bagi hakim di lingkungan PA perlu pembekalan secara teoritis mengenai ekonomi syari'ah. Dan lebih dari itu perlu juga diberi pengalaman praktis. Bahkan kalau perlu diadakan studi banding di lembaga-lembaga Keuangan Syari'ah. Kalimat ini disampaikan dengan secara serius oleh Ketua PTA karena kegiatan ini juga bernuansa pembinaan aparatur negara.
Sedangkan Rektor IAIN Walisongo, Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA, menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas terselenggaranya acara ini. Adanya UUPA pasca amandemen memberikan suasana yang menggembirakan karena sekarang PA telah mendapat kepercayaan penuh untuk menyelesaikan sengketa Syari'ah. Namun hal ini Juga sekaligus menjadi tantangan. Kami yakin bahwa pengetahuan memang cukup tetapi dalam hal ini fokusnya adalah tentang ekonomi syari'ah. Bagaimana Kesiapan resources kita. Perlu kerjasama ditingkatkan tidak hanya sebatas ini tetapi bila perlu studi lanjut tentang ekonomi syari'ah, imbuhnya.
Selanjutnya sambutan dan sekaligus keynote speech, oleh Drs. H. Wahyu Widiana, MA (Dirjen Badilag MA) menyampaikan: Sejak Bank Muamalat Indonesia berdiri dan mulai beroperasi 14 tahun silam, pertumbuhan perbankan syari'ah meningkat tajam. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah bank umum yang membuka bank syari'ah. Pertumbuhan ini mendapat respon positif di kalangan masyarakat, sehingga tidak menutup kemungkinan muncul berbagai persoalan dan problematika hukum.
Meningkatnya kegiatan bisnis syari’ah, para pelaku dan pengguna ekonomi syari’ah harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syari’ah. Jika terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi perjanjian, kedua pihak akan berusaha menyelesaikan secara musyawarah. Meski demikian, masih ada kemungkinan perselisihan itu tidak dapat diselesaikan secara musyawarah. Kemungkinan seperti ini kian besar, terlebih dalam kehidupan dunia ekonomi syari’ah yang kian beragam dan semakin meningkat volume kegiatannya.
Selama ini sengketa yang terjadi dalam kegiatan ekonomi syari’ah, diselesaikan melalui lembaga arbitrase. Tapi, penyelesaian ke lembaga arbitrase harus melalui kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa. Kalau salah satu pihak tidak sepakat, maka tidak bisa dibawa ke arbitrase. Sedangkan apabila sengketa dibawa ke lembaga peradilan umum juga tidak tepat, karena Peradilan Umum tidak menggunakan syari’ah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian sebuah perkara. Hukum perdata di peradilan umum berbeda ruang lingkupnya dengan ekonomi syari’ah sehingga dengan adanya amandemen Undang Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dapat dijadikan pijakan yuridis untuk menyelesaikan sengketa dalam ekonomi syari’ah.
Dengan penambahan sejumlah bidang yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, diharapkan praktik-praktik umat Islam yang selama ini sudah berjalan di masyarakat mempunyai kekuatan yuridis. Kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi dan surat berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah memberi konsekuensi tersendiri bagi pengadilan agama, selain harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah, para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Sejalan dengan itu, setiap hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal ekonomi syari’ah.Hakim pengadilan agama memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, namun karena selama ini, pengadilan agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari’ah, maka wawasan tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas. Selama ini para hakim hanya menangani masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah.
Dengan penambahan sejumlah bidang yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, diharapkan praktik-praktik umat Islam yang selama ini sudah berjalan di masyarakat mempunyai kekuatan yuridis. Kewenangan pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Misalnya, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi dan surat berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syari’ah.
Perluasan kewenangan pengadilan agama untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah memberi konsekuensi tersendiri bagi pengadilan agama, selain harus memiliki hakim-hakim khusus yang kapabel dalam menangani sengketa ekonomi syari’ah, para hakim juga dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya. Hal ini sesuai adagium ius curia novit hakim dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Sejalan dengan itu, setiap hakim pengadilan agama dituntut untuk lebih mendalami dan menguasai soal ekonomi syari’ah.Hakim pengadilan agama memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam, namun karena selama ini, pengadilan agama tidak menangani sengketa yang terkait dengan ekonomi syari’ah, maka wawasan tentang ekonomi syari’ah sangat terbatas. Selama ini para hakim hanya menangani masalah sengketa perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf dan sedekah.
Dengan bertambahnya kewenangan untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah merupakan tantangan yang tidak ringan bagi hakim untuk menambah wawasan dan pengetahuannya. Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka hakim pengadilan agama dituntut untuk: Pertama, para hakim pengadilan agama harus terus meningkatkan wawasan hukum tentang perekonomian syari’ah dalam bingkai regulasi Indonesia dan aktualisai fiqh Islam. Kedua, para hakim pengadilan agama harus mempunyai wawasan memadai tentang produk layanan dan mekanisme operasional dari perbankan syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah. Mereka juga harus memahami pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah, dan bisnis syari'ah. Ketiga, para hakim agama perlu meningkatkan wawasan hukum tentang prediksi terjadinya sengketa dalam akad yang berbasis ekonomi syari’ah. Keempat, para hakim harus meningkatkan wawasan dasar-dasar hukum dan peraturan perundang-undangan serta konsepsi dalam fiqh Islam tentang ekonomi syari’ah.
Selanjutnya acara diklat bagi hakim agama ini dibuka secara resmi oleh Dirjen Badilag tepat pukul 17.00 WIB. Selamat!!!
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home